Pertanyaan itu mencuat sehubungan dengan kajian yang sedang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia National Institute on Drug Abuse (INIDA), dan Monash University Asutralia. Kajian ini terfokus pada manfaat dan kerugian ganja dari berbagai perspektif. Perlu diadakan penelitian untuk menempatkan ganja secara proporsional, belum sampai menurunkan status atau melegalkan ujar Tomi Harjatno, Konsultan Ahli BNN yang juga Direktur Pengembangan INIDA.
Didasari bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 memasukkan ganja dalam kategori narkotika golongan I. Penggunanya terancam maksimal 10 tahun penjara. BNN sedang melakukan kajian ulang terhadap ganja.
Pemerintah juga sudah pernah mengatur secara khusus pertanian ganja lewat Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1980 tentang Ketentuan Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja. Berdasarkan PP ini lembaga pendidikan atau lembaga pengetahuan bisa menanam ganja setelah memperoleh izin. Lembaga ini harus membuat laporan setiap enam bulan sekali mengenai lokasi, luas tanaman, dan hasil. Kalau ada kehilangan, lembaga dimaksud harus melapor ke polisi.
Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja berkonotasi buruk. Menurut Tomi, ganja harus dilihat secara proporsional, jangan langsung dibasmi. Harus kita lihat apakah ganja seburuk yang digambarkan. Secara umum ganja tidak menimbulkan ketagihan (withdrawal) seperti halnya morfin. Bila seorang pecandu morfin memutuskan untuk berhenti, dia akan merasakan rasa sakit di tubuh, lazim disebut sakaw. Dari studi literatur, jelas Tomi, ganja hampir sama dengan rokok. Ganja tidak pernah menimbulkan overdosis dan tidak menimbulkan sifat agresif. Tetapi semua itu harus dibuktikan lewat penelitian pungkasnya.
Selain efek negatif, ganja memiliki keunggulan seperti tumbuhan yang ramah lingkungan, anti hama, mudah ditanam, dan punya manfaat banyak. Tasmania adalah salah satu negara yang memanfaatkan ganja. Negara ini menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) ganja dan memanfaatkannya untuk membuat bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan. Sementara kadar THC ganja yang tumbuh di Indonesia belum terukur.
Efek ganja
Sosiolog Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, Irwanto menyatakan THC merupakan salah satu zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendahnya saja bisa bikin tinggi. Bila kadar THC diperkaya, bisa menjadi lebih potensial untuk tujuan pengobatan. Selain itu dimasyarakat tradisonal opium, cocaina, dan ganja, dipakai sebagai herbal medicine. Dan kalau digunakan sebagai penyedap masakan seperti di Aceh, THC benar-benar tinggal sedikit. Lebih lanjut Irwan mengatakan, akan menjadi masalah bila THC diperkaya untuk tujuan lainnya.
Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja berkonotasi buruk. Menurut Tomi, ganja harus dilihat secara proporsional, jangan langsung dibasmi. Harus kita lihat apakah ganja seburuk yang digambarkan. Secara umum ganja tidak menimbulkan ketagihan (withdrawal) seperti halnya morfin. Bila seorang pecandu morfin memutuskan untuk berhenti, dia akan merasakan rasa sakit di tubuh, lazim disebut sakaw. Dari studi literatur, jelas Tomi, ganja hampir sama dengan rokok. Ganja tidak pernah menimbulkan overdosis dan tidak menimbulkan sifat agresif. Tetapi semua itu harus dibuktikan lewat penelitian pungkasnya.
Selain efek negatif, ganja memiliki keunggulan seperti tumbuhan yang ramah lingkungan, anti hama, mudah ditanam, dan punya manfaat banyak. Tasmania adalah salah satu negara yang memanfaatkan ganja. Negara ini menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) ganja dan memanfaatkannya untuk membuat bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan. Sementara kadar THC ganja yang tumbuh di Indonesia belum terukur.
Efek ganja
Sosiolog Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, Irwanto menyatakan THC merupakan salah satu zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendahnya saja bisa bikin tinggi. Bila kadar THC diperkaya, bisa menjadi lebih potensial untuk tujuan pengobatan. Selain itu dimasyarakat tradisonal opium, cocaina, dan ganja, dipakai sebagai herbal medicine. Dan kalau digunakan sebagai penyedap masakan seperti di Aceh, THC benar-benar tinggal sedikit. Lebih lanjut Irwan mengatakan, akan menjadi masalah bila THC diperkaya untuk tujuan lainnya.
Menurut Tomi, karena sifatnya sebagai halusinogen dan dapat menimbulkan euforia, efek negatif ganja adalah membuat orang menjadi malas. Efek paling buruk dari ganja karena menjadikan reaksi pemakai lebih lambat, dan peganja cenderung kurang waspada.
Irwanto berpesan agar penanganan kejahatan terhadap ganja tidak terlalu brutal dan agak tebang pilih'. Banyak anak muda yang hidupnya jadi hancur di penjara, karena kedapatan membawa ganja selinting dua linting saja, buat apa? tandasnya.
Soal kemungkinan dilegalkannya ganja, Irwanto cenderung memilih bila tanaman ini diturunkan golongannya, dengan penggunaan yang diawasi dan dibatasi bagi pengobatan Pengguna ganja demi kepentingan penyembuhan atau obat seperti di beberapa negara tak perlu dikriminalisasi. Sebaliknya, jangan pula langsung dilegalkan begitu saja sehingga orang bebas memakai ganja di jalanan. Jadi tidak legal total, ujarnya.
Apabila hendak dilegalkan, Irwanto meragukan kemampuan kontrol pemerintah dan petugas. Kalau pemerintah tidak mampu mengendalikan, sebaiknya jangan dilegalkan ujar Irwan. Di Belanda, menurut Irwanto, pengendaliannya lebih mudah karena daerahnya kecil.
Tomi sendiri menegaskan bahwa pihaknya baru sebatas penelitian. Rekomendasinya nanti akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan. Yang disebut terakhir inilah yang akan memutuskan apakah ganja akan diturunkan statusnya atau dilegalkan pemakaiannya secara terbatas.
Pengalaman Belanda
Selama ini ada pandangan bahwa Belanda termasuk negara yang melegalkan ganja. Berdasarkan penelusuran hukumonline, tidak ada aturan yang menyatakan ganja legal. Bahkan revisi tahun 1976 terhadap UU Opium Belanda menempatkan ganja ke dalam status illegal dan ada ancaman hukuman bagi produsen, penjual, serta penggunanya.
Meski begitu, Belanda mengambil langkah pragmatis untuk mengontrol ganja dan hashish. Sebagaimana yang tertuang dalam buku Introduction to Dutch Law terbitan Kluwer International (1999), ada toleransi bagi pemakai dan penjual eceran ganja yang masuk kategori soft drugs. Melalui Guidelines of the Dutch Prosecutors General 1976 Belanda menetapkan standar pelanggaran yang tidak akan didakwa sebanyak tiga puluh gram. Pemilikan oleh konsumen kembali dibatasi hingga menjadi lima gram pada 1996. Meski begitu, bukan berarti pemerintah benar-benar membebaskan penggunaan ganja, pengedaran yang sistematis serta ekspor-impor. Pelakunya tetap dapat dipenjara.
Menurut buku ini, kebijakan Belanda yang demikian antara lain dimaksudkan untuk mencegah penghamburan biaya kriminalisasi penggunaan ganja. Pengaturan terhadap coffeshop (toko penjual soft drugs) dan suppliernya cukup ketat, contohnya hanya menyalurkan soft drugs, dan dalam jumlah tertentu. Meski begitu, mengontrol hubungan supplier dan coffeshop tidak mudah. Dalam praktek penentuan batas toleransi oleh aparat menjadi masalah tersendiri.
Irwanto berpesan agar penanganan kejahatan terhadap ganja tidak terlalu brutal dan agak tebang pilih'. Banyak anak muda yang hidupnya jadi hancur di penjara, karena kedapatan membawa ganja selinting dua linting saja, buat apa? tandasnya.
Soal kemungkinan dilegalkannya ganja, Irwanto cenderung memilih bila tanaman ini diturunkan golongannya, dengan penggunaan yang diawasi dan dibatasi bagi pengobatan Pengguna ganja demi kepentingan penyembuhan atau obat seperti di beberapa negara tak perlu dikriminalisasi. Sebaliknya, jangan pula langsung dilegalkan begitu saja sehingga orang bebas memakai ganja di jalanan. Jadi tidak legal total, ujarnya.
Apabila hendak dilegalkan, Irwanto meragukan kemampuan kontrol pemerintah dan petugas. Kalau pemerintah tidak mampu mengendalikan, sebaiknya jangan dilegalkan ujar Irwan. Di Belanda, menurut Irwanto, pengendaliannya lebih mudah karena daerahnya kecil.
Tomi sendiri menegaskan bahwa pihaknya baru sebatas penelitian. Rekomendasinya nanti akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan. Yang disebut terakhir inilah yang akan memutuskan apakah ganja akan diturunkan statusnya atau dilegalkan pemakaiannya secara terbatas.
Pengalaman Belanda
Selama ini ada pandangan bahwa Belanda termasuk negara yang melegalkan ganja. Berdasarkan penelusuran hukumonline, tidak ada aturan yang menyatakan ganja legal. Bahkan revisi tahun 1976 terhadap UU Opium Belanda menempatkan ganja ke dalam status illegal dan ada ancaman hukuman bagi produsen, penjual, serta penggunanya.
Meski begitu, Belanda mengambil langkah pragmatis untuk mengontrol ganja dan hashish. Sebagaimana yang tertuang dalam buku Introduction to Dutch Law terbitan Kluwer International (1999), ada toleransi bagi pemakai dan penjual eceran ganja yang masuk kategori soft drugs. Melalui Guidelines of the Dutch Prosecutors General 1976 Belanda menetapkan standar pelanggaran yang tidak akan didakwa sebanyak tiga puluh gram. Pemilikan oleh konsumen kembali dibatasi hingga menjadi lima gram pada 1996. Meski begitu, bukan berarti pemerintah benar-benar membebaskan penggunaan ganja, pengedaran yang sistematis serta ekspor-impor. Pelakunya tetap dapat dipenjara.
Menurut buku ini, kebijakan Belanda yang demikian antara lain dimaksudkan untuk mencegah penghamburan biaya kriminalisasi penggunaan ganja. Pengaturan terhadap coffeshop (toko penjual soft drugs) dan suppliernya cukup ketat, contohnya hanya menyalurkan soft drugs, dan dalam jumlah tertentu. Meski begitu, mengontrol hubungan supplier dan coffeshop tidak mudah. Dalam praktek penentuan batas toleransi oleh aparat menjadi masalah tersendiri.
0 comments
Post a Comment